Labuhanbatu Utara | membaranews.com
Aktivitas mencurigakan terjadi di kawasan pesisir Tanjung Leidong, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhanbatu Utara. alat berat jenis ekskavator ditemukan tengah beroperasi di kawasan hutan mangrove seluas sekitar 14 hektare sejak Senin Lalu (13/10/2025).

Diduga, lahan tersebut sedang dibuka untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, kegiatan penggarapan ini melibatkan seorang pengusaha yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan (PT) pengolah CPO yang beralamat di Desa Pangkal Lunang Kecamatan Kualuh Leidong.
Aktivitas yang Ancam Ekosistem
Kehadiran alat berat di kawasan pesisir itu memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan, terutama pegiat lingkungan. Yayasan Sumatera Hijau menilai kegiatan tersebut berpotensi merusak salah satu ekosistem paling vital di wilayah pesisir timur Sumatera Utara.
“Kami menerima laporan dari masyarakat dan setelah melakukan peninjauan langsung, benar ditemukan aktivitas alat berat di kawasan hutan mangrove. Ini sangat mengkhawatirkan karena mangrove berfungsi sebagai benteng alami dari abrasi serta habitat penting biota laut,” kata Fauzul Ahmadi, Kepala Bidang Komunikasi dan Informasi Yayasan Sumatera Hijau, saat dikonfirmasi, Selasa (22/10).
Menurut Fauzul, aktivitas itu tidak hanya merusak keseimbangan ekologi, tetapi juga berpotensi melanggar hukum, terutama Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Setiap bentuk kegiatan yang mengubah fungsi kawasan hutan, apalagi ekosistem mangrove, tanpa izin dari otoritas berwenang adalah pelanggaran serius. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus segera turun sebelum ekosistem ini rusak total,” tegas Fauzul.
Dugaan Potensi Pelanggaran Hukum
Yayasan Sumatera Hijau menilai tindakan pengrusakan Kawasan Hutan Mangrove ini diindikasi pelanggaran terhadap Pasal 69 ayat (1) huruf a UUPPLH, yang melarang tindakan yang mengakibatkan perusakan lingkungan hidup, serta Pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan, yang melarang setiap orang melakukan kegiatan di kawasan hutan tanpa izin.
Jika terbukti, pelaku dapat dijerat dengan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

“Ini bukan semata soal pelanggaran administratif, tetapi menyangkut kejahatan ekologis. Mangrove punya peran besar dalam mitigasi perubahan iklim, penyangga abrasi, dan sumber ekonomi masyarakat pesisir,” ujar Fauzul lagi.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Selain ancaman ekologis, pembukaan lahan sawit di area mangrove juga dinilai mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal. Rusaknya ekosistem mangrove akan menurunkan populasi ikan dan udang, yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga pesisir.
“Atas nama investasi, masyarakat justru menjadi korban jangka panjang. Kalau mangrove hilang, abrasi meningkat, tangkapan ikan berkurang, dan kehidupan nelayan terganggu,” tutur Fauzul menambahkan dengan nada prihatin.
Desakan Investigasi
Yayasan Sumatera Hijau mendesak agar pemerintah daerah, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dalam hal ini KPH III Kisaran dan aparat penegak hukum (Satgas PKH) segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap aktivitas pembukaan lahan tersebut.
“Kawasan Hutan Mangrove yang seharusnya ditanami dan dirawat, kini malah dialihfungsikan, Negara harus hadir di sini. Jangan tunggu kerusakan makin parah baru bertindak,” tutup Fauzul. (Red)











